“Ssst….Bu Indati datang,” kata Cahyo. Langsung saja anak-anak kelas 4 SD Sambo Indah beranjak duduk ke tempatnya masing-masing.
“Selamat pagi, Anak-anak!” sapa Bu Isti dengan ramah.
“Selamat pagi, Buuuuuu!” Anak-anak menjawab dengan kompak.
“Anak-anak, kemarin Ibu memberikan tugas Bahasa Indonesia membuat pantun, semua sudah mengerjakan?”
“Sudah Bu.”
“Arga, kamu sudah membuat pantun?”
“Sudah dong Bu.”
“Coba kamu bacakan untuk teman-temanmu.”
Dengan wajah nakalnya, Arga membacakan pantunnya sambil tersenyum-senyum.
“Jalan ke hutan melihat salak
Ada pula pohon-pohon tua
Ayam jantan terbahak-bahak
Lihat Inka giginya dua”
“Huahaha….” Kontan saja anak-anak sekelas tertawa terbahak-bahak. Hanya satu orang yang tidak tertawa. Inka cuma cemberut sebel sambil melihat Arga.
“Arga, kamu nggak boleh seperti itu sama temannya,” tegur Bu Isti. “Kekurangan orang lain itu bukan untuk ditertawakan. Coba kamu buat pantun yang lain.”
“Iya Bu,” jawab Arga sambil masih tersenyum-senyum.
Itulah Arga, anak paling bandel di kelas empat. Ada saja ulah usilnya untuk mengganggu teman-temannya, terutama teman-teman perempuan di kelasnya. Pernah suatu hari Anggun kelabakan mencari buku PR matematikannya, padahal Pak Widodo, guru matematikannya, sudah masuk kelas dan siap meneliti PR anak-anak. Anggun kebingungan sampai hampir menangis. Eh, ternyata bukuitu ditemukan oleh Pak Widodo di laci meja guru. Tentu saja ulah Arga yang selalu usil.
Siang itu, pulang sekolah, Inka mendatangi Arga dengan wajah cemberut.
“Arga, kenapa sih kamu selalu usil? Kenapa kamu selalu mengejek aku? Memangnya kamu suka kalau diejek?” tanya Inka gusar.
Arga cuma tertawa-tawa. “Aduh…maaf deh, kamu marah ya In?”
“Iya dong. habis…kamu nakal. Kamu memang sengaja mengejek aku kan, biar anak-anak sekelas mentertawakan aku.”
“Wa…jangan marah dong, aku kan cuma bercanda. Eh, katanya marah itu bisa menghambat pertumbuhan gigi lho, nanti kamu giginya dua terus, hahaha…” Arga tertawa. Danto yang berada di dekat Arga juga ikut tertawa.
“Huh! kalian jahat!” teriak Inka. “Aku nggak ngomong lagi sama kalian!” Inka meninggalkan kedua anak yang masih tertawa nakal itu.
“Sudahlah In, nggak usah dipikirin. Arga kan memang usil dan nakal. Nanti kalau kita marah, dia malah tambah senang. Kita diamkan saja anak itu,” hibur Gendis, sahabat Inka.
Hari berikutnya, Gendis yang menjadi korban kenakalan Arga. Siang itu, sewaktu istirahat pertama, Arga duduk di dekat Gendis dan bertanya, “Dis, nama kamu kok bagus sih. mengeja nama Gendis itu gimana?”
“Apa sih, kamu mau mengganggu lagi ya? Beraninya cuma sama anak perempuan.”
“Lho…aku kan cuma bertanya, mengeja nama Gendis itu gimana. Masak gitu aja marah.”
“Memangnya kenapa sih?” tanya Gendis dengan curiga. “Gendis ya mengejanya G-E-N-D-I-S dong!”
“Haaa…kamu itu gimana sih Dis. Udah kelas empat kok belum bis mengeja nama sendiri dengan benar. Gendis itu mengejanya G-E-M-B-U-L. Itu lho kayak pamannya Bobo, hahaha….” Arga tertawa, diikuti teman-temannya.
Gendis yang memang merasa badannya gemuk jadi sewot. “Arga, kamu selalu begitu! Bisa nggak sih, sehari tanpa berbuat nakal? Lagian kamu cuma berani nakalin anak perempuan. Dasar!” Gendis pun pergi dengan marah.
Suatu hari, di siang yang panas, Inka dan Gendis berjalan kaku pulang sekolah. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar bunyi bel sepeda berdering-dering.
“Hoi…minggir…minggir…. Pangeran Arga yang ganteng ini mau lewat. Rakyat jelata diharap minggir.”
Inka dan Gendis cuma menoleh sebel. Arga melewati mereka dengan tertawa keras. Tahu-tahu…gubrak! Karena kurang hati-hati, sepeda Arga menabrak sebuah pohon yang ada di pinggir jalan.
“Rasain kamu! Teriak Inka. “Makanya kalau naik sepeda itu lihat depan.”
“Iya,” tambah Gendis. “Makanya kalau sama anak perempuan jangan suka nakal. Sekarang kamu kena batunya.”
Sementara Arga cuma meringis kesakitan. “Aduh…tolong dong. aku nggak bisa bangun nih?”
“Ngapain ditoong. Dia kan suka nggangguin kita. Biar tahu rasa sekarang. Lagian, paling dia cuma pura-pura. Nanti kita dikerjain lagi.”
“Aduh…aku nggak pura-pura. Kakiku sakit sekali,” rintih Arga. “aku janji nggak akan ngerjain kalian lagi.” Akhirnya Inka tak tahan juga melihat Arga yang meringis kesakitan dan tidak bisa berdiri.
“Ditolong yuk, Dis.”
“Tapi…”
“Sudahlah, kita kan nggak boleh dendam sama orang lain. Bagaimanapun, Arga kan teman kita juga.” Gendis mengangguk. Kedua anak itu lalu mendekati Arga.
“Apanya yang sakit, Ga?”
“Aduh…kakiku sakit sekali. aku nggak kuat berdiri nih.”
“Gini aja Dis, kamu ke sekolah cari Pak yan yang jaga sekolah. pak Yan kan punya motor. Nanti Arga biar diantar pulang sama Pak Yan. Sekarang aku di sini menemai Arga.”
“Ide yang bagus,” kata Gendis semangat. Ia segera berjalan cepat-cepat menuju ke sekolah yang masih kelihatan dari tempat itu.
“In…,” kata Arga lirih. “Maafkan aku ya. Aku sering nggangguin kamu, Gendis, Anggun, dan teman-teman yang lain.
“Makanya kamu jangan suka ngerjain orang, apalagi mengolok-olok kekurangan mereka. Jangan suka meremehkan anak perempuan. Nyatanya, kamu membutuhkan mereka juga kan?”
“Iya deh, aku janji nggak akan ngerjain kalian lagi.”
Arga betul-betul menepati janjinya. Sejak kejadian itu, ia tak pernah mengganggu teman-temannya lagi. Arga pun jadi punya banyak sahabat, termasuk Inka dan Gendis. Mereka sering mengerjakan PR dan belajar bersama.
“Ternyata kalau aku nggak nakal, sahabatku tambah banyak,” pikir Arga. “Ternyata juga, punya banyak sahabat itu menyenangkan. Kalau mereka ulang tahun kan aku jadi sering ditraktir, hihihi….” **
Oleh: Veronica Widyastuti (Bobo No. 31/XXX)
Layyina Komentar