Jangan Berteriak! (lagi…)

6 05 2009

Kali ini, saya ingin bercerita tentang salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Nah, penduduk primitif yang tinggal di sana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon. Untuk apa? Kebiasaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.

Inilah yang mereka lalukan, jadi tujuannya supaya pohon itu mati. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu.

Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari. Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan.

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya.

Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati. Nah, sekarang, apakah yang bisa kita pelajari dari kebiasaan penduduk primitif di kepulauan Solomon ini? Ooow, sangat berharga sekali! Yang jelas, ingatlah baik-baik bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya.

Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda?

Ayo cepat!

Dasar lelet!

Bego banget sih! Begitu aja nggak bisa dikerjakan?

Jangan main-main disini!

Berisik!

Atau, mungkin Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati?

Saya nyesal kawin dengan orang seperti kamu tahu nggak!

Bodoh banget jadi laki/bini nggak bisa apa-apa!

Aduuuuh, perempuan kampungan banget sih!?

Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya:

Stupid, soal mudah begitu aja nggak bisa! Kapan kamu jadi pinter?!

Atau seorang atasan berteriak pada bawahannya saat merasa kesal,

Eh tahu nggak?! Karyawan kayak kamu tuh kalo pergi aku kagak bakal nyesel!

Ada banyak yang bisa gantiin kamu!

Sial! Kerja gini nggak becus? Ngapain gue gaji elu?

Ingatlah! Setiap kali Anda berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai.. Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi-emosi kita perlahan-lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan kita.

Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untuk mendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan. Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan? Nah, tahukah Anda mengapa orang yang marah dan emosional, mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka hanya beberapa belas centimeter. Mudah menjelaskannya. Pada realitanya, meskipun secara fisik mereka dekat tapi sebenarnya hati mereka begitu jauh. Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak!

Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh orang yang dimarahi kerena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.

Jadi mulai sekarang ingatlah selalu. Jika kita tetap ingin roh pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Tapi, sebaliknya apabila Anda ingin segera membunuh roh orang lain ataupun roh hubungan Anda, selalulah berteriak. Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Ataupun Anda akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya.

Saatnya sekarang, kita coba ciptakan kehidupan yang damai, tanpa harus berteriak-teriak untuk mencapai tujuan kita.





Saat Anak Suka Membantah

5 05 2009

eramuslim – Ada satu masa di mana anak suka mengatakan dan melakukan hal yang berlawanan dengan keinginan orangtua. Bagaimana kita menyikapinya secara bijaksana agar anak tidak menjadi terbiasa membantah?Raihan, 4 tahun, kini suka sekali membantah orangtuanya. Bila diingatkan untuk mandi, ia malah minta bermain. Bila ia diminta untuk makan, ia malah menggambar. Bahkan Raihan suka sekali mengatakan ‘tidak’ terhadap ayah dan ibunya jika dimintai tolong untuk melakukan sesuatu.Misalnya, ketika berkunjung ke rumah nenek, ibunya meminta Raihan untuk menyalami nenek dan kakeknya, tapi Raihan malah ngeloyor ke dapur sambil berkata, “Nggak mau, nggak mau…” Tentu saja ini membuat ayah dan ibunya bingung dengan tingkah laku Raihan.

Evi Elviati, Psi. Psikolog yang bekerja pada Essa Consulting Group mengatakan, membantah berarti menentang lingkungan sosial. Beberapa bentuk bantahan adalah mengatakan hal yang berlawanan dengan keinginan orangtua atau guru, tidak mengikuti aturan, mengerjakan larangan, melawan, protes dan mengkritik. Setiap anak pernah membantah dan menolak aturan orangtua. Bila membantah tidak terlalu sering dilakukan, itu merupakan hal yang wajar karena menunjukan adanya perkembangan kemandirian atau berkeinginan mengatur dirinya sendiri. Tapi, bila anak sering membantah dan tetap membantah jika diingatkan, maka orangtua harus mewaspadainya sebagai salah satu permasalahan dalam perkembangan anak.

Umumnya hal itu mulai terjadi sejak anak berusia 2 tahun, sebab pada saat itu anak mulai berusaha menerapkan otonomi bagi dirinya. Dengan berbagai macam cara, anak ingin mencoba batasan dan otoritas orangtuanya, sementara orangtua lebih memilih untuk bertahan. Pergumulan ini akan berlangsung hingga anak menginjak usia remaja. Menghadapi bantahan anak, orangtua sebenarnya dapat melihatnya dari sisi positif, yaitu dengan memberikan respon yang benar dari tindakan yang terkesan negatif dan keras kepala.

Menghadapi situasi ini, orangtua cenderung menggunakan kekuasaanya secara penuh dan berlebihan, hal ini akan membuat anak tidak berdaya. Akibatnya anak akan menentang atau lari, untuk memperoleh kekuasaannya dengan cara memberontak dan merusak. Sebaliknya, ia bisa jadi akan menyerah dengan membiarkan orang lain membuat keputusan. Mengapa anak suka membantah?

Menurut Evi banyak penyebabnya antara lain,

1. Anak melihat contoh dari lingkungan sekitarnya. Misalnya ia melihat kakaknya sering membantah orangtua.

2. Anak selalu diminta untuk melakukan hal-hal diluar kemampuannya, misalnya anak disuruh mengambil buku di atas rak, padahal anak tidak mampu melakukannya, hal itu mengakibatkan anak membantah perintah orang tua.

3. Anak memiliki keinginan yang berbeda dengan orangtua, misalnya orangtua menyuruhnya mandi padahal anak masih ingin bermain.

Menurut Irwan Prayitno dalam bukunya yang berjudul ‘anakku penyejuk hati’. Yang menyebabkan anak membantah adalah, a. Akibat penerapan disiplin yang longgar dan ketidakmampuan orangtua untuk mengatakan ‘tidak’ pada anak. b. Disiplin yang berlebihan, otoriter, perfeksionis dan terlalu mendominasi. c. Akibat disiplin yang tidak konsisten. Misalnya, ibu akan mengingatkan bila anak tidak gosok gigi sebelum tidur, namun ayah membiarkannya saja.d. Akibat situasi stress atau konflik yang sedang dihadapi orangtua. e. Terjadi pada anak kreatif, yang tidak ingin membeo dan hanya ingin melakukan apa yang ia inginkan. f. Akibat marah dan kecewa pada orangtua atau anggota keluarga. g. Terjadi pada anak cerdas dan biasanya suka membantah, namun mereka tahu konsekuensi dari tingkah lakunya. h. Anak yang lelah, sakit, lapar, atau perasaan tidak enak lainnya.

Evi menambahkan, perilaku membantah bisa muncul di semua jenjang usia, biasanya mulai muncul pada saat anak mampu merangkai kata-kata yaitu sekitar 2 tahun. Dan mulai sering ketika anak usia pra sekolah, SD hingga menjelang pra remaja. Kapanpun anak suka membantah, yang penting bagaimana mencegahnya, agar tidak menjadi kebiasaan. “Sayangnya, dalam menangani masalah ini orangtua cenderung mencari jalan singkat dengan memarahi anak. Padahal itu justru akan membuat anak mempertahankan perilakunya,” jelasnya.

Evi mengungkapkan cara terbaik untuk mengatasinya, pertama dengan membuka komunikasi dengan anak, untuk mengetahui penyebab dan alasan mengapa anak mempertahankan pendapatnya, sehingga orangtua dapat menemukan jalan keluarnya bersama-sama. Misalnya, anak menolak pekerjaan rumah di sore hari. setelah dilakukan dialog, ternyata anak ingin mengerjakannya setelah nonton film Loone Tunes. Dengan begitu orangtua dapat mengaturnya, tanpa harus perang mulut dengan anak.

Kedua, menerapkan disiplin yang konsisten, menyenangkan dan terbuka. Artinya selain anak yang diminta untuk mentaati aturan, orangtua pun harus konsisten dengan aturan yang ditetapkan bersama. Orangtua harus membuka diri terhadap masukan yang diberikan oleh anak.

Ketiga, ciptakan suasa yang menyenangkan dalam keluarga, karena stress dan konflik yang terjadi pada orangtua, akan mengurangi penghargaan anak pada orangtua, antara lain munculnya perilaku yang negatif. Sekali lagi proses pembenahan itu berawal dari kita sebagai orang tua.

Tulisan ini diambil dari Majalah Ummi No.9/XV Pebruari-Maret 2004/1424 H