Banyak Kursus? Boleh Asal Tak Dipaksa…

18 05 2009

Sesuaikan pilihan kursus dengan minatnya. Cermati frekuensi dan jumlahnya, serta pilih penyelenggara yang dapat menyelami jiwa anak.

Simaklah kisah yang merupakan pengalaman nyata Dra. Hj. Opih R. Zainal. Ketua Umum Ikatan Guru TK Indonesia ini harus menerima kalau anak sulungnya bukanlah orang yang bergairah dalam menimba ilmu secara akademis. “Semua itu kesalahan saya dan menjadi penyesalan hingga kini. Sewaktu kecil, karena merupakan anak pertama, saya menuntutnya untuk selalu lebih. Termasuk dalam soal pelajaran. Saya jejali dia dengan berbagai kursus. Akibatnya, saat di universitas, dia seperti sudah kehilangan gairah untuk belajar. Kuliahnya membutuhkan waktu lama baru bisa selesai. Saat itu mungkin sudah merupakan titik klimaks kejenuhannya.”

Tanpa bermaksud membandingkan, Opih melihat kalau anak keduanya yang dididik dengan lebih “santai”, justru selalu bersemangat mengembangkan ilmunya terus-menerus. “Anak saya yang nomor dua mengambil dua kuliah sekaligus dan bisa menyelesaikan kedua kuliahnya hanya dalam 4 tahun. Bisa jadi karena sewaktu dia kecil, saya memberinya banyak kelonggaran untuk bermain dan tidak saya bebani berbagai kursus.”

Tak ada maksud apa pun di balik cerita ini kecuali sebagai bahan renungan bagi para orang tua agar tidak memaksa anak untuk mengikuti kursus secara berlebihan. “Saya sering bercerita kepada orang tua lain tentang hal ini agar mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dengan yang saya lakukan. Dampak pada anak TK yang diikutkan berbagai macam kursus memang tidak akan terlihat saat itu juga, tapi baru dalam beberapa tahun bahkan berberapa puluh tahun kemudian.”
Menurut Opih, banyak anak yang duduk di kelas 2 atau 3 SD tiba-tiba mogok sekolah. “Nah, ini bisa jadi merupakan pertanda kalau mereka terlalu diforsir. Perkembangan mereka seakan disentak-sentak, bukan seperti air mengalir. Dampak yang lebih buruk lagi, nantinya anak bisa drop-out dari SMA atau tidak mau meneruskan kuliah.”

TANPA MINAT AKAN KECEWA

Toh, bukan berarti si kecil sama sekali tidak boleh kursus. Boleh-boleh saja. Namun, orang tua mesti jujur dulu kepada diri sendiri, apakah kursus tersebut memang untuk mengembangkan minat dan potensi anak, atau hanya untuk memuaskan ambisi orang tua saja. “Kalau dulu, kan, orang tua selalu menginginkan anaknya menjadi dokter atau insiyur. Saat trend-nya kini berubah, mereka berbondong-bondong ingin anaknya menjadi penyanyi, presenter atau model cilik,” ujar Kepala Sekolah TK Al-Ikhlas, Jakarta ini.

Alhasil, ambisi-ambisi tadi memicu mereka untuk memasukkan anak-anaknya ke tempat-tempat kursus seputar dunia entertainment. Bila si kecil berminat mungkin tidak jadi masalah, tapi jika tidak, maka pada akhirnya hanya kekecewaan yang akan didapat anak. Ia tidak bisa menemukan dirinya di situ. “Awalnya, mungkin anak mau kursus karena iming-iming orang tua. Lama-lama akan tampak kejenuhannya sehingga akhirnya membawa anak pada kekecewaan.” Inilah yang menurut Opih harus dihindari. Sarannya, orang tua mesti selalu ingat, kursus yang tidak diminati anak hanya akan merupakan suatu siksaan baginya.
Namun sekali lagi, bukan berarti semua kursus selalu berdampak buruk. Bila tujuan kursus adalah murni untuk mengembangkan minat atau potensi yang dimiliki anak, Opih justru menyarankannya. Amati potensi apa yang paling menonjol pada dirinya untuk kemudian dikembangkan. Bila umpamanya, si kecil senang menggambar dan memang terbukti hasil gambarnya lebih bagus ketimbang anak-anak lain, masukkan ia ke sanggar menggambar. “Di sanggar itu, anak akan mendapat pengarahan ahli. Bagaimana gradasi warna yang baik, bagai

mana cara menggambar bentuk orang dengan lebih menarik, dan lain sebagainya. Nah, kursus-kursus semacam ini dapat mempercepat bakat dan minat anak agar menjadi kenyataan,” ujar Sekbid Informasi dan Komunikasi Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia ini.

BILA MENGEJAR KETINGGALAN

Lalu bagaimana dengan kursus-kursus yang tujuannya mengejar ketinggalan? Umpamanya, kursus membaca dan menulis bagi anak TK menjelang masuk SD. Untuk soal ini, kata Opih, yang perlu disadari orang tua, lagi-lagi bahwa anak TK tidak mesti langsung bisa membaca saat masuk SD. Ada perkembangan yang lebih penting yang harus mereka miliki ketimbang kemampuan membaca, seperti perkembangan imajinasi, perkembangan motorik halus maupun kasar, dan perkembangan bahasa.

Sayangnya, perkembangan-perkembangan tadi kadang terbengkalai karena guru maupun orang tua malah mementingkan kemampuan baca-tulis anak. “Perkembangan-perkembangan tersebut dianggap enteng karena hasilnya tidak bisa terlihat seketika. Sedangkan membaca, ukurannya lebih terlihat, dari yang belum bisa membaca jadi bisa baca. Makanya ini yang sering dikejar lebih dulu. ”

Padahal, lanjut Opih, kemampuan membaca tidak ada gunanya jika anak tidak mengerti makna dari apa yang ia baca. Kemampuan menulis pun akan percuma saat anak tidak dapat mencurahkan ide ke dalam tulisannya. Semua kemampuan tersebut bisa bermula dari perkembangan-perkembangan yang dianggap remeh-temeh tadi. Pelajaran menggambar, misalnya, walau hasilnya tampak hanya seperti benang ruwet, merupakan salah cara untuk dapat mengembangkan imajinasi anak. Coba kita selalu bertanya apa yang anak gambar, “Adek gambar, apa?” ­ “Ini bebek, Ma.” ­ “Kakinya enggak kelihatan, ya?” ­ “Iya, soalnya air kolamnya kepenuhan.”

Jadi, apa pun alasan yang dicelotehkan anak, semua sah-sah saja karena gambar tersebut merupakan caranya merealisasikan ide-ide yang ada dalam pikiran. “Hanya, antara imajinasi dengan kemampuan motoriknya belum seimbang sehingga hasilnya terlihat berbeda dengan apa yang dimaksud.” Lagi pula, ucapan-ucapan yang dikatakan anak mendorong juga perkembangan bahasanya.
Jadi, kembali lagi pada inti persoalan, kursus membaca bagi anak TK tidaklah mutlak. Namun bila toh, dengan berbagai pertimbangan tetap dirasa perlu, Opih memberikan rambu-rambu yang dapat dijadikan patokan. Salah satunya, perhatikan masa peka anak. Kalau masa peka anak sudah timbul, maka latihan baca-tulis akan bisa membantunya. Namun, jika masa peka tersebut belum ada, dalam arti anak belum berminat, maka akan ada tiga pihak yang merasa terbebani, yaitu guru, anak, dan orang tua.

Mendeteksi kepekaannya tidaklah terlalu sulit. Minta saja si kecil untuk mencari bentuk huruf yang sama. Misalnya, kita acungkan pada anak huruf N, lalu katakan, “Coba cari di kartu-kartu itu, bentuk yang sama dengan huruf yang Mama pegang!” Kalau anak sudah bisa melakukannya berarti dia bisa diajarkan membaca,” kata Opih. Satu hal lagi yang patut diperhatikan, kursus membaca tidak boleh dengan cara mendril, tapi harus dengan bermain. “Dengan cara berlomba mencari huruf yang sama, misalnya. ”

MINAT NAIK-TURUN

Yang perlu dicermati, minatnya terhadap sesuatu kadang menunjukkan grafik yang naik-turun. Hari ini bisa saja ia memperlihatkan antusiasme saat berlatih menari. Hari lainnya ia tampak ogah-ogahan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari hal itu. Menurut Opih, wajar saja jika anak usia prasekolah mood-nya naik turun. Namun, tetap perlu dicari akar penyebabnya. Jangan-jangan hanya karena masalah sepele. Umpamanya, bagi anak yang ikut les renang, perintah untuk mencelupkan kepalanya ke dalam air bisa menjadi suatu siksaan. “Pelatih yang sabar dan mengerti jiwa anak akan menggunakan taktik lain. Misalnya, kepala anak disiram air dulu. Walau gelagapan, tapi setidaknya ia masih merasa aman karena kepalanya masih ada di atas air.”

Untuk itulah Opih berharap penyelenggara kursus mesti dapat menyelami jiwa anak-anak. Bila guru di tempat kursus selalu memberikan kritik, anak-anak jadi takut salah. Waspadai pula jika si kecil sering mengeluh capek karena bisa merupakan indikasi pemaksaan yang tidak disadari. Saat akan berangkat kursus, umpamanya, anak banyak mengajukan alasan seperti sakit perut, mengantuk atau pusing. “Kalau itu terjadi tidak ada salahnya jika orang tua bertanya dengan jujur kepada dirinya sendiri. Apakah anak memang berminat pada kursus tersebut atau jangan-jangan kita saja yang ngotot.”

Namun bisa juga keluhan capek tadi disebabkan frekuensi kursus yang terlalu dekat, misalnya seminggu 3 kali. Akhirnya terdengarlah keluhan seperti, “Aduh, kayaknya baru kemarin, deh, aku kursus. Masak sekarang harus kursus lagi.” Padahal idealnya, menurut Opih, frekuensi kursus bagi anak TK adalah seminggu sekali atau seminggu dua kali. Akan lebih bijaksana lagi, penetapan jadwal kursus ini melibatkan si kecil. “Jangan mentang-mentang ia masih kecil, lalu orang tua sendiri yang menentukan. Kalau semua serba diatur, anak akan terbiasa tunggu perintah. Akhirnya kalau tidak diperintah, dia tidak akan berbuat apa-apa. Ini, kan sama saja membunuh kreativitasnya.”

Selain frekuensi, jumlah kursus pun patut diperhatikan. “Jangan terlalu banyak, karena selain belum memiliki rasa tanggung jawab, ia pun masih selalu ingin bermain. Jadi, maksimal 2 macam saja dalam seminggu.”

Opih yakin, jika anak memang berminat, ditambah frekuensi, jumlah kursus, dan penyelenggaranya yang menyenangkan, maka kegiatan ini akan menjadi suatu rekreasi yang indah dan selalu didamba-dambakan anak. Bukankah akan terdengar merdu jika dari mulut mungilnya terdengar, “Kapan sih aku kursus lagi? Aku sudah enggak sabar mau bernyanyi, nih!” Karena dari situlah awal perkembangan imajinasi serta kreativitasnya.

JENIS KURSUS YANG COCOK

Opih sendiri sebenarnya tidak membatasi jenis kursus bagi balita. Selama sesuai minat dan potensinya, kursus apa pun boleh saja. “Bila anak senang bermain dengan angka, ia bisa saja diikutsertakan pada kursus sempoa,” kata Opih. Namun setidaknya, ada beberapa kursus yang umum bagi anak-anak TK:

* menggambar

* olahvokal

* mengenal musik

* renang

* komputer

* bahasa Inggris

Pada dua kursus yang disebut terakhir, yaitu bahasa Inggris dan komputer, menurut Opih, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Untuk bahasa Inggris, misalnya, boleh dijalani asalkan si kecil tidak melupakan bahasanya sendiri. Kursus komputer bagi si kecil pun tentu bukan meliputi pengenalan program-program yang rumit, tapi program yang memungkinkannya bermain sambil mengenal teknologi tersebut.
Yang paling penting lagi, kursus untuk anak-anak tidak boleh disamakan seperti kursus untuk orang dewasa. Misalnya, tidak dengan komunikasi satu arah dan duduk diam statis. “Untuk kursus bahasa Inggris, misalnya, bisa dengan bernyanyi. Sedangkan kursus komputer diselenggarakan dengan menggunakan program untuk anak-anak.”
(tabloid-nakita)





Memilih Les Sesuai Karakter Anak

13 05 2009

Tujuannya mengembangkan karakter anak agar lebih positif.

Orangtua sekarang banyak yang mengikutkan anak prasekolahnya ke berbagai les yang bersifat nonakademis, seperti menggambar/melukis, menari, bela diri, olahraga, dan sebagainya. Selain karena ingin anaknya memiliki kelebihan yang dapat ditonjolkan dan dibanggakan, juga agar mampu bersaing di era globalisasi. Hal ini wajar saja. Apalagi, dengan ikut les dapat mengoptimalkan minat dan bakat anak, kemampuan bersosialisasi, dan lainnya. Yang penting, kursus tersebut harus sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan anak. Selain itu, orangtua harus pula memerhatikan karakter anaknya.

Karakter adalah kebiasaan dan sikap-sikap yang sering muncul sehingga menghasilkan suatu sikap dan tingkah laku tertentu yang berbeda dari anak lainnya. Jika anak mengikuti les yang sesuai dengan karakternya, maka hasilnya akan menguntungkan karena anak dapat mengembangkan sisi positif dari karakternya dan meredakan sisi negatifnya.Secara umum, ada 4 karakter dasar anak yaitu aktif, pasif, percaya diri, dan pencemas. Fabiola Priscilla, M.Psi., dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Jakarta, menjelaskannya berikut ini!

1. AKTIF

* Ciri-Ciri:
Anak giat beraktivitas, tampak energik, dan membutuhkan ruang gerak yang luas.

* Jenis les yang dapat diikuti:

Cocoknya diikutkan les yang berkaitan dengan gerak tubuhnya yang aktif, seperti olahraga, bela diri, dan seni gerak, sehingga anak dapat menyalurkan kelebihan energi yang dimilikinya. Jika lingkungan rumah mendukung, memiliki halaman luas dan ada anggota keluarga yang suka main bola, maka anak juga bisa melakukan aktivitas main bolanya tanpa perlu masuk ke dalam klub olahraga sepak bola. Cara ini pun bisa menyalurkan minat anak tanpa mengabaikan karakteristiknya.

Selain jenis les yang disebutkan di atas, pada dasarnya anak aktif bisa mengikuti semua jenis les, baik itu olahraga, bela diri, seni, keterampilan, maupun sains. Ini karena anak selalu antusias dengan sesuatu hal dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

2. PASIF

* Ciri-Ciri:
Anak terlihat lamban, kurang gesit, kurang suka kegiatan fisik, cepat mengaku lelah, dan agak lama menyesuaikan diri. Bila melakukan sesuatu yang sesuai dengan minatnya, baru terlihat antusiasmenya dan konsentrasinya pun bisa bagus.

* Jenis les yang dapat diikuti:

Biasanya, anak-anak yang pasif memiliki kemampuan observasi yang kuat dan imajinasinya juga tinggi. Jadi, bisa dipilihkan les yang memang memerlukan observasi mendetail dan kekuatan imajinasi, seperti catur, merakit robot, serta keterampilan tangan. Dengan begitu, kemampuan imajinasi, daya analisis, dan observasinya dapat berkembang optimal.Di sisi lain, anak pasif memiliki kekurangan dalam hal sosialisasi—biasanya sulit bergaul—sehingga perlu dipilihkan pula les yang dapat meminimalkan sisi kekurangan dari karakternya ini. Kegiatan berkelompok, seperti dalam klub sains, paduan suara, dan sanggar tari/teater akan membantunya bersosialisasi. Selain itu, anak pasif biasanya juga memiliki kendala dalam mengungkapkan ekspresi. Kegiatan melukis dapat membantu mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Begitu juga kegiatan olahraga seperti sepak bola. Energi yang dipendam atau unek-uneknya bisa dikeluarkan melalui pukulan atau tendangan pada bola.

Anak berkarakter pasif juga cenderung diam, sehingga baik bila diberikan les bela diri. Baik pula jika diikutkan les menari, berenang, dan lainnya yang membuat anak aktif bergerak mengingat anak pasif cenderung kurang bergerak.

Hal lain yang penting diperhatikan orangtua, karena anak pasif umumnya sulit menyesuaikan diri dengan segera, maka les sebaiknya diberikan secara bertahap dengan pengenalan terlebih dahulu.

3. PERCAYA DIRI

* Ciri-ciri:
Anak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru alias mudah bergaul/bersosialisasi, lancar mengungkapkan pendapatnya, dan senang pada sesuatu yang ada tantangannya.

* Jenis les yang dapat diikuti:

Semua jenis les yang menjadi minatnya. Dengan mengikuti les, anak dapat menambah keyakinan akan kemampuan dirinya, bangga dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga rasa percaya dirinya pun makin bertambah.

4. PENCEMAS

* Ciri-ciri:
Anak mudah merasa takut salah dan menyerah; lama menyesuaikan diri dengan lingkungan baru; selalu butuh dukungan orangtua; sensitif dan mudah berprasangka.

* Jenis les yang dapat diikuti:

Yaitu, jenis les yang bisa menenangkan seperti meditasi atau yoga; les keterampilan dan bela diri untuk mengendalikan emosinya; serta les yang berkaitan dengan pembentukan karakter seperti teater kreatif.Anak yang pencemas perlu dilatih untuk mengatasi rasa cemasnya. Dibutuhkan dukungan dari orangtua agar anak merasa nyaman dengan lingkungan di tempat lesnya, baik pengajarnya maupun teman-temannya, dan lainnya. Bila anak diberikan les berupa keterampilan tangan, maka anak akan belajar menguasai skill tertentu sehingga dengan kemampuan itu ia bisa memiliki rasa percaya diri. Jenis keterampilan ini bisa juga dilakukan di rumah tanpa harus les. Carilah kegiatan yang bisa dilakukan di rumah. Yang harus diajarkan pada anak pencemas adalah sikap fleksibel terhadap perubahan.

PALING PAS DI USIA 4 TAHUN

Menurut Fabiola, 4 tahun adalah usia minimal untuk anak mulai ikut les. Ada 2 alasan yang mendasarinya. Pertama, kesukaan atau minat anak sudah lebih jelas kelihatan. “Jika di bawah usia itu, anak masih tergantung mood. Hari ini suka balet, tapi besok kesukaannya sudah berganti jadi melukis, misalnya.” Namun, saran Fabiola, sebelum anak berusia 4 tahun, orangtua sebaiknya sudah mengamati minat/kesukaan anaknya. Alasan kedua, di usia 4 tahun, kemampuan motorik kasar dan halus anak sudah lebih baik. Begitu pun daya tahannya terhadap tugas.(tabloid-nakita)