Multitasking dan Konsekuensinya

7 05 2009

oleh : Ninok Leksono

“Anak yang mengirim SMS ketika membuat pekerjaan rumah, main game online, dan nonton TV, saya ramal, tidak akan berprestasi dalam jangka panjang.” Jordan Grafman Bagian Ilmu Saraf Kognitif, National Institute of Neurological Disorders and Stroke, AS Di bawah ini ada empat pertanyaan yang dapat mengungkap satu gejala yang dialami oleh manusia abad ke-21.

Pertama, “Apakah Anda memberi perhatian, perhatian penuh, perhatian eksklusif terhadap orang ketika ia berbicara kepada Anda dalam satu rapat atau di tempat kerja?”
Kedua, “Apakah Anda memeriksa e-mail ketika sedang menelepon?”
Ketiga, “Apakah Anda membaca koran atau bicara di telepon ketika sedang nonton TV?”
Keempat, “Apakah Anda mendengarkan radio atau pemutar MP3/iPod ketika sedang menelepon?”

Jawaban “Tidak” untuk nomor 1 dan “Ya” untuk nomor dua, tiga, dan empat menyimpulkan bahwa Anda-seperti umumnya kita dewasa ini-hidup dengan apa yang disebut sebagai CPA (continuous partial attention). Seperti tersirat dari istilah itu, CPA menjelaskan orang yang tak bisa memberi perhatian penuh terhadap satu urusan karena konsentrasi terbagi-bagi untuk urusan atau aktivitas lain. Meluasnya pemandangan orang yang mengerjakan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang sama semula dianggap sebagai fenomena multitasking abad ke-21.

Namun, seperti ditulis dalam situs PR/Media Connection/Restivo Communications, banyak orang yang menyalahartikan multitasking, memercayai bahwa itu adalah melakukan banyak hal dengan sama baiknya pada waktu yang bersamaan. Yang diambil sebagai analogi adalah komputer. Padahal-kecuali untuk beberapa mesin berkemampuan amat tinggi dengan prosesor paralel-sebagian besar komputer sebenarnya tidak mengerjakan lebih dari satu tugas dalam satu waktu. Mereka memproses satu tugas atau satu perintah pada satu waktu, memang dengan sangat cepat, sehingga terkesan mesin itu melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam satu waktu.

Selain itu, yang juga terjadi adalah komputer melakukan prioritas terhadap perintah dan kode menurut sejumlah konsep sederhana, seperti “yang datang pertama, dilayani pertama, dan perintah sederhana dikerjakan sebelum perintah kompleks”. Manusia dalam banyak hal juga bekerja dengan cara serupa. Kita menyusun prioritas. Namun, juga diamati bahwa kemampuan memprioritaskan perintah dan kode tersebut sering kali didasarkan pada kriteria subyektif daripada obyektif. Dari berbagai pertimbangan, tampak kemampuan multitasking manusia lebih terbatas dibandingkan dengan komputer. Sebab itu, secara alamiah manusia tidak disarankan untuk memberi perhatian secara sama dan penuh terhadap semua input sensori yang datang sekaligus.

Epidemik

Di luar keterbatasan yang ada, gejala multitasking dan multiple sensory input-seperti dikemukakan oleh Linda Stone, mantan periset di perusahaan Apple dan Microsoft dalam satu konferensi bulan Maret 2006-kini telah mencapai proporsi epidemik. Sebagai akibatnya, dengan hinggapnya CPA, kemampuan untuk memberi perhatian secara penuh terhadap satu input sensori tak bisa penuh. Yang terjadi kemudian bukan multitasking, melainkan kekacaubalauan. Riset puluhan tahun-ditambah dengan akal sehat-mengindikasikan bahwa kualitas output dan kedalaman berpikir seseorang akan menurun ketika ia melakukan tugas-tugas yang makin banyak.

Sementara ilmuwan sosial mencemaskan hal lain, yaitu bahwa generasi digital akan tumbuh sebagai orang-orang yang tidak acuh dengan dunia di sekeliling mereka. Dengan stimulasi SMS, MP3, telepon, chatting yang bersifat terus-menerus, pada anak-anak akan terbentuk lapis ketidakpekaan dan ketidakacuhan saat mereka berusia 25 atau 30-an nanti. (Time, 19/3/2006) Memang manusia selalu punya kapasitas untuk mengerjakan beberapa hal sekaligus.

Para ibu sejak zaman berburu-pengumpul sudah mengumpulkan buah-buahan sambil menyusui bayi dan menyiapkan makan untuk anak yang lebih besar. Namun, tak diragukan lagi bahwa fenomenon ini mencapai taraf menggila dengan munculnya komputer yang tersambung internet, ketika chatting dengan enam teman jadi rutin dengan messenger, nonton American Idol di TV, dan meng-Google nama finalis lomba yang lalu, semuanya pada saat bersamaan. Kini, serangkaian riset, baik yang sudah terbit maupun yang belum, memperlihatkan kembali limit multitasking.

Penemuan terbaru, menurut ahli saraf (neuroscientist), psikolog, dan profesor manajemen menyarankan agar orang mengendalikan kebiasaan multitasking ketika bekerja di kantor, belajar, atau mengemudi mobil. Seiring dengan itu, para ahli juga memberi sejumlah nasihat: periksa pesan e-mail sekali setiap jam. Mendengarkan musik latar belakang yang lembut sambil belajar bisa saja meningkatkan konsentrasi. Tetapi, pemecah perhatian lain-sebagian besar lagu dengan lirik, SMS, acara TV-diyakini akan menurunkan performa. Mengemudi sambil menelepon, sekalipun dengan perangkat tangan bebas, bukan hal baik. Ringkas kata, jawaban ada dalam mengelola teknologi, bukan semata menyerah pada kemampuannya yang menggoda.

Ini karena multitasking diyakini akan memperlambat seseorang, meningkatkan peluang terjadinya kesalahan, ujar David Mayer, ilmuwan kognitif dan Direktur Laboratorium Otak, Kognisi, dan Aksi di Universitas Michigan. (IHT, 26/3/2007) “Gangguan dan interupsi merupakan hal buruk ditinjau dari sisi kemampuan memproses informasi,” tambahnya. Otak manusia yang terdiri dari ratusan miliar neuron dan ratusan triliun koneksi sinaptik dalam banyak hal merupakan sumber tenaga kognitif. Hanya saja, kata Rene Marois, ilmuwan ahli saraf di Lab Pemprosesan Informasi Manusia di Universitas Vanderbilt, ada keterbatasan dalam berkonsentrasi pada dua hal sekaligus.
Dalam riset ditemukan adanya perlambatan respons otak, katakan dalam orde detik. Tetapi, kalau itu terjadi pada orang yang mengemudi dengan kecepatan 100 km per jam, hal itu bisa menimbulkan akibat fatal.

Jalan keluar

Generasi digital dihadapkan pada godaan teknologi yang, antara lain, membuat fenomena seperti multitasking jadi tampak di mana-mana. Sekadar melarang orang melakukan multitasking jelas bukan hal mudah. Tetapi, tetap perlu disadari bahwa otak manusia punya keterbatasan melakukan hal itu. Atas dasar itu, kini juga dipikirkan untuk menemukan cara agar pekerja dapat mengelola kelebihan beban dalam komunikasi digital secara efisien. Eric Horvits, ilmuwan peneliti di Microsoft, mengibaratkan, kita sekarang hidup di zaman Wild West komunikasi digital. Tetapi, tetap ada harapan bagi masa depan. Hanya saja, bila risiko multitasking yang ada saat ini tak disadari, konsekuensinya akan bermunculan tak lama lagi.

link : http://mediasurva.wordpress.com