Menjadi Guru yang Benar-benar Berdaya!

5 05 2009

oleh : Hernowo

Andaikan ada sebuah sekolah (di Indonesia, tentunya) yang memberikan dorongan dan peluang kepada para guru, yang mengajar di sekolah tersebut, untuk membaca buku-buku yang “bergizi” setiap hari. Andaikan mereka, para guru yang mau dan mampu membaca buku itu, setiap bertemu dengan anak didiknya senantiasa membawa dan menunjukkan buku-buku “bergizi” yang dibacanya, dan–sebelum memulai kegiatan belajar-mengajarnya–para guru itu tak jera mendongengkan sedikit tentang manfaat-manfaat yang diperolehnya setelah membaca buku.
Apa kira-kira yang akan terjadi dengan sekolah tersebut?

Membaca adalah salah satu cara terampuh yang dapat membuat seorang guru berdaya. Ada banyak cara, memang, untuk memberdayakan para guru pada zaman luber informasi seperti sekarang ini. Misalnya, gaji ditingkatkan dan kesejahteraan diberikan berlipat-lipat ketimbang sebelumnya. Tentu, peningkatan gaji dan kesejahteraan akan menolong para guru. Sebab, apabila masalah ini tidak juga dipedulikan, memberdayakan guru dengan cara lain–meskipun ampuh–tetap saja bagaikan mendirikan rumah pasir.

Namun, apakah benar apabila gaji ditingkatkan, para guru lantas benar-benar berdaya? Apakah mereka lantas termotivasi untuk menjadikan dirinya untuk terus berkembang dan, misalnya, mau dan mampu membaca buku yang kaya dan beragam? Meningkatkan gaji sangat bergantung pada pihak lain. Artinya, peningkatan itu tidak dapat terealisasi apabila tidak ada pihak yang berwenang–sebutlah pemerintah–yang benar-benar mewujudkan hal itu. Tulisan ini tidak akan membicarakan soal penting ini–apalagi membicarakan pihak lain. Tulisan ini ingin menunjukkan kemungkinan menjadi seorang guru yang berdaya yang memusatkan proses pemberdayaan itu dari diri si guru sendiri.

Dalam buku The Power of Empowerment, David Clutterbuck bilang bahwa “tidak ada seorang pun bisa diberdayakan oleh orang lain; individu-individu harus memberdayakan diri mereka sendiri”. Menjadi berdaya adalah mempersepsi bahwa sang diri itu memiliki potensi luar biasa dan, secara mandiri, orang yang berdaya tak lelah-lelahnya untuk menunjukkan kehebatannya kepada orang lain tanpa bergantung kepada pihak lain. Budayawan Kuntowijoyo menunjukkan bahwa orang yang bergantung pada pihak lain adalah orang yang mengalami penyakit xenomani. Penyakit ini setara dengan penyakit yang melanda pada zaman penjajahan, yaitu penyakit yang dimiliki oleh orang-orang yang bermental budak. Mentalitas budak atau bergantung kepada pihak lain menyebabkan seseorang tidak memiliki harga diri dan kepercayaan diri.

Merujuk ke buku The Creative Spirit karangan Daniel Goleman, Paul Kaufman, dan Michael Ray, orang-orang yang berdaya adalah orang-orang yang kreatif. Kreativitas tumbuh dari keadaan batin seseorang. Jika seseorang tidak memiliki keyakinan diri–bahwa dirinya benar-benar memiliki segudang potensi yang dahsyat–dan harapan–bahwa masa depan akan terus mendatangkan kebaikan dan perbaikan apabila setiap orang tidak gampang menyerah dengan keadaan dan mau terus berusaha keras–berhentilah menjadi manusia. Tugas manusia di bumi hanyalah mencoba, mencoba, dan mencoba. Dengan keberanian mencoba, sesuatu akan konkret dipelajari. Manusia menjadi lebih baik apabila terus mau dan mampu belajar dan mencoba hal-hal baru.

Bagaimana caranya agar para guru menjadi benar-benar berdaya?

Pertama, para guru perlu berusaha keras untuk memiliki keterampilan belajar dan mengajar. Ini artinya para guru, misalnya, harus diberi peluang selebar-lebarnya untuk mempelajari materi-materi yang sangat baru berkaitan dengan proses pemelajaran. Misalnya, mereka perlu memahami brain-based learning (belajar berbasiskan cara bekerjanya otak) yang merevolusi pendidikan di milineum ketiga ini.

Selain itu, para guru juga perlu tahu lebih jauh tentang metode-metode belajar-mengajar, seperti Quantum Learning, Quantum Teaching, Accelerated Learning, Cooperative Learning, Multiple Intelligences, Neuro Linguistic Programming, Active Learning, CTL (Contextual Teaching and Learning), metode mencatat Mind Mapping, dan masih banyak lagi. Ringkasnya, pada bagian ini, para guru perlu menyadari bahwa mereka tidak lagi mengagung-agungkan pentingnya mendahulukan penguasaan atas kurikulum (what) melainkan lebih dahulu memperlengkapi diri mereka dengan hal-hal yang berkaitan erat dengan “how to teach” dan–lebih-lebih lagi–“how to learn”.

Tanpa para guru mau berusaha keras untuk mengubah cara berpikir mereka berkaitan dengan apa yang perlu didahulukan agar dapat menjadi guru yang berdaya–yaitu lebih mendahulukan how ketimbang what–ada kemungkainan mereka akan terus-menerus diperdaya oleh keadaan. Marilah kita merenung sejenak. Mengapa kelas-kelas yang ada di sekolah saat ini cenderung membosankan? Mengapa buku-buku yang beredar di sekolah hanyalah buku-buku pelajaran? Mengapa perpustakaan-perpustakaan di sekolah bagaikan kuburan? Mengapa para guru mandul menulis dan tak mampu melahirkan karya-tulis yang inovatif? Mengapa peringkat perguruan tinggi kita merosot jauh dibandingkan dengan perguruan tinggi yang ada di Vietnam dan Malaysia?

Kedua, para guru perlu benar-benar menguasai ilmu atau materi yang diajarkannya secara total dan tidak sekadarnya. Ini berarti para guru perlu belajar dan berlatih reading and writing skill. Membaca dan menulis perlu dijadikan kebiasaan rutin para guru. Tanpa membaca dan menulis, mustahil para guru dapat secara terus-menerus meningkatkan kualitas dirinya sebagai seorang pengajar.

Bahkan, kalau memungkinkan, para guru pada akhirnya harus dapat menjadi ‘ROLE MODEL’ baca-tulis bagi anak didiknya. Lewat membaca, seorang guru akan memperluas dan memperkaya kosakata sehingga kalau bercerita di depan anak didik akan senantiasa mengasyikkan, sementara lewat menulis sang guru dapat merekam pengalamannya atau “mengikat” pengetahuan yang kemudian dikonstruksi menjadi semacam ilmu (ingat, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.) yang bermanfaat.

Lewat proses mengikat (makna) itulah para guru benar-benar dapat membuktikan bahwa dirinya telah menguasai ilmu yang dimiliki yang akan diajarkan kepada anak didik. Lewat menulislah sang guru kemudian akan dapat mengaitkan ilmunya dengan pengalaman pribadinya. Apakah ilmunya memberdayakan dirinya? Apakah ilmunya benar-benar sesuai dengan karakter dirinya? Apakah ilmunya dapat memberi manfaat kepada orang lain? Apakah ilmunya memang layak diajarkan kepada anak didik dan menggembirakan anak didik?

Ketiga, para guru perlu mendidik dirinya sendiri agar memiliki kepribadian yang unggul dan bernilai. Bayangkan ada guru yang, setiap berhadapan dengan anak didiknya, memancarkan kewibawaan, kehormatan, dan keteladanan. Kewibawaan, kehormatan, dan keteladanan inilah yang akan membuat seorang guru dapat diterima oleh lingkungannya. Pertama, dia dihormati dan dihargai oleh murid-muridnya dan diterima sebagai orang yang akan mengarahkan murid-muiridnya menjadi manusia mulia (bermoral luhur). Kedua, dia diakui kehebatannya oleh rekan-rekan guru lainnya dan senantiasa mau menolong, membagikan pengalamannya, serta memotivasi rekan guru lain untuk meningkatkan diri. Ketiga, dia dapat menjadi mitra yang baik terhadap pengelola sekolah, terutama kepala sekolah, dan juga dengan orangtua murid, aktivis pendidikan, pemerintah, dan lain-lain.

Guru yang seperti ini jelas akan dapat mengubah lingkungan dan dirinya sendiri menjadi terus membaik. Inilah sosok guru yang sudah mulai menuju ke suatu wilayah yang di wilayah itu “guru kehidupan” berada. “Guru kehidupan” sangat berbeda dengan “guru kurikulum”. “Guru kehidupan” benar-benar mau dan mampu mengajarkan sesuatu yang bermakna. Dan makna yang diajarkannya itu bukan merupakan “makna yang dirumuskan” sebagaimana yang sering diajarkan oleh “guru kurikulum”. “Guru kehidupan” lebih menekankan untuk mengajarkan “makna yang dihayati”, yaitu makna yang tidak sekadar tercantum di kurikulum atau buku, melainkan makna yang bersentuhan dengan kehidupan sejati.

Agar dapat menjadi “guru kehidupan”, seorang guru perlu mengasah kecerdasan emosinya. Emosilah yang mampu memberi arti–bukan arti sekadar arti sebagaimana tertulis di buku, namun arti yang membumi yang mampu menjadikan sang diri terus bersemangat untuk memperbaiki diri. Masalah kecerdasan emosi ini memang sudah banyak dan sering dibicarakan. Namun, jarang pembicaraan itu menyentuh bidang-bidang penting dalam sebuah kehidupan, apalagi mengaitkan emosi dengan arti kehidupan sejati.

Dalam buku menariknya (dan ketika diterbitkan pertama kali, buku ini sempat mendapat label “buku menggemparkan”), Emotional Intelligence, Daniel Goleman menjelaskan secara panjang lebar soal pentingnya kecerdasan emosi. Lewat riset-riset intensifnya, Goleman menemukan bahwa yang membuat seseorang sukses itu bukanlah kecerdasan akademis (IQ). IQ tetap penting. Namun, IQ hanya menyumbang seseorang untuk meraih sukses hanya sebesar 20%. Sementara itu, sekitar 80% disumbang oleh kecerdasan emosi (EQ).

Dalam bukunya yang lain, yang lebih menggugah, Working with Emotional Intelligence, Goleman kemudian mengajari kita untuk menggunakan “peta emosi” agar kecerdasan emosi kita melejit. “Peta emosi” itu berkaitan dengan diri-personal dan diri-sosial. Dalam diri-personal, ada tiga hal penting yang perlu kita kuasai: (1) sadar-diri dan mampu memahami diri, (2) mengelola diri, dan (3) memotivasi diri. Tanpa kita dapat memahami diri, mustahil kita dapat mengelola diri kita sendiri. Dan jika kita tidak dapat mengelola diri kita, akibatnya kita tidak mungkin dapat memotivasi diri untuk terus-menerus memperbaiki diri.

Dalam diri-sosial hanya ada dua hal penting, yaitu (1) memahami orang lain, dan (2) empati. Namun, sebelum kita beranjak ke diri-sosial, sebaiknya kita berupaya keras lebih dahulu untuk menyentuh hal-hal paling mendasar dari diri-personal–kalau perlu sampai ke sumur terdalam bernama inner self. Tanpa kita mau berupaya sungguh-sungguh untuk memahami diri, apa mungkin kita mampu memahami diri orang lain? Tanpa kita mampu lebih dahulu mengelola diri sendiri, apa mungkin kita dapat mengelola diri orang lain? Tanpa kita mampu memotivasi diri sendiri, apa mungkin kita memotivasi diri orang lain–bahkan ikut berempati kepada penderitaan orang lain?

Semoga kita–para guru–dapat benar-benar menjadi guru yang berdaya dan kemudian–setelah berdaya–kita mampu mengubah sosok diri kita menjadi “guru kehidupan”.