Burukkah Bahasa Gaul?

28 05 2009

Bila ditelusuri, bahasa gaul di kalangan anak sekolah dasar muncul karena pengaruh lingkungan. Umumnya mereka menyerap dari percakapan orang-orang dewasa di sekitarnya. Atau meniru dari media massa, semisal dari adegan percakapan di televisi maupun mengikuti tren bahasa gaul di media cetak.

Yang pasti, bahasa gaul akan selalu muncul dan berkembang sesuai zaman masing-masing. Beberapa tahun lalu, istilah “memble aje” atau “Biarin, yang penting kece” sempat ngetren. Istilah-istilah tersebut lantas tenggelam dengan sendirinya, tergantikan oleh istilah lain. Di antaranya, “so what gitu loh”, “jayus”, dan “Kesian deh lo!”

Seperti sebelum-sebelumnya, istilah-istilah tersebut awalnya merupakan penggalan-penggalan bahasa yang khusus hanya digunakan dalam kelompok tertentu hingga hanya bisa dimengerti anggota kelompok tersebut. Namun lama-kelamaan istilah-istilah ini tersosialisasi dan kemudian jadi umum digunakan oleh lingkungan yang dekat dengan kelompok tersebut, yakni anak-anak usia sekolah dan remaja.

Mengapa anak usia SD? Tak lain karena dorongan untuk meniru lingkungan amat kuat dalam diri anak usia sekolah dasar. Ini merupakan tanda bahwa mereka tengah berusaha untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Tak heran kalau ada temannya yang menggunakan bahasa gaul sebagai bahasa sehari-hari biasanya ia juga akan menggunakan bahasa yang sama saat berkomunikasi dengan teman-temannya. Tujuannya apa lagi kalau bukan ingin diterima dalam lingkup pergaulan tersebut hingga sama sekali tak ingin beda.

Selain itu, anak pun lazimnya akan termotivasi melakukan sesuatu bila melihat orang lain mendapat imbalan positif saat melakukan hal tersebut. Dalam hal ini anak melihat temannya yang di sekolah kerap menggunakan bahasa gaul tersebut disukai teman-teman lain. Makanya si anak akan cenderung meniru apa yang dilakukan si teman. Dengan kata lain, biasanya anak akan menyontoh perilaku sosok yang signifikan baginya, yakni kakak, orangtua ataupun bintang idola.

Kalau mereka menggunakan bahasa gaul, anak pun akan segera mengadaptasi perilaku tersebut Dengan begitu perlu dipahami bahwa menyerap bahasa gaul yang tengah menjadi tren merupakan bagian dari konformitas terhadap lingkungan. Pahami pula jika hal ini merupakan salah satu tahapan perkembangan kepribadian anak usia sekolah. Yang dimaksud konformitas adalah meleburkan diri pada lingkungan agar mendapat pengakuan.

Sebagai catatan, di usia sekolah dasar anak mulai memasuki diffusion alias pencarian identitas. Nah, salah satu bentuk identitas yang dicari anak adalah pengakuan lingkungan dengan ikut-ikutan bicara menggunakan penggalan bahasa yang sedang populer. Di benak anak, “Wah, kalau enggak ngomong kayak gitu, aku pasti dianggap enggak gaul’.”

Dalam perkembangan sosial anak usia SD, konformitas memang amat diperlukan karena akan meningkatkan self esteem (harga diri) anak. Jadi, biarkan saja anak ikut tren yang memang diperlukan bagi perkembangan sosialnya. Yang harus diajarkan pada anak adalah soal penempatan, dalam arti kapan dan kepada siapa bahasa tersebut boleh digunakan.

Sumber : tabloid-nakita.com





Agar Anak ‘Cerdas Bahasa’

6 05 2009

eramuslim – Suatu kali, saat menginap di rumah salah seorang tante, saya terkesima menyaksikan sebuah kebiasaan yang luar biasa yang beliau lakukan bersama dengan anak semata wayangnya. Hari itu, sekitar pukul tujuh malam. Saya dan tante baru saja sampai di rumahnya, setelah berjanjian untuk bertemu dan pulang bersama selepas jam kantor. Usai salat Maghrib dan mandi, saya beranjak ke ruang tamu.

Di sanalah saya menemukan pemandangan indah itu. Tante saya yang sudah berganti pakaian tidur sedang duduk di sofa sambil memegang dan kelihatan membacakan sebuah majalah kepada anak laki-lakinya yang duduk setengah berjongkok berhadapan dengan ibunya. Saya memang sering mendengar bahwa tante saya ini punya kebiasaan mendongeng pada anaknya. Saya pun mendekat, dan memperhatikan mereka.

Rupanya saat itu tante saya sedang menyelesaikan sebuah artikel yang tadi dibacakannya. Ia pun menoleh pada anaknya dan berkata,
“Sudah selesai deh ceritanya. Sekarang kamu belajar, ya…kerjain pe-ernya,”
Tetapi rupanya sepupu kecil saya itu menolak untuk segera beranjak, ia meminta untuk dibacakan lagi artikel yang lainnya,
“Bacain yang judulnya ini dong, Bu. Ini artinya apaan sih, Imam mau denger ceritanya,” begitu pintanya.

Dan tante saya pun kembali membacakan sebuah artikel lagi dari majalah tersebut. Imam, sepupu saya itu, pun duduk tenang dan mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang dibacakan oleh ibunya.
Saya memang sering mendengar, bahwa metode ‘mendongeng’ yang dilakukan para orang tua kepada anaknya, akan sangat efektif untuk membangkitkan kecerdasan anak. Terutama bagi kemampuan verbal yang sedang berkembang pada anak, dan juga akan merangsang minat baca pada anak. Selain itu, aktivitas mendongeng adalah salah satu sarana untuk ‘berkomunikasi’ antara orang tua dan anak, sekaligus menjadi alat perekat yang sangat membantu bagi orang tua bekerja. Termasuk tante saya tersebut.

Beliau adalah seorang pegawai bank pemerintah yang sudah memiliki jabatan cukup tinggi sehingga kesibukan kantor kerap kali memisahkannya dari sang anak. Namun, menyaksikan ‘pemandangan’ itu, saya jadi terharu dan sekaligus kagum akan ‘kecerdikan’ tante saya dalam mengefektifkan waktu pertemuan dengan anaknya.

Yang menarik lagi adalah, bacaan yang saat itu dibacakan bukanlah sebuah dongeng atau cerita anak-anak yang diambil dari buku kumpulan cerita anak dan sejenisnya. Melainkan sebuah artikel mengenai hikmah kehidupan yang terdapat dalam sebuah majalah umum, yang biasanya dikonsumsi oleh orang dewasa. Dan pada saat itu, saya mendapati binar ketertarikan pada kedua mata sepupu kecil saya. Untuk beberapa kata yang tak ia mengerti, ia selalu menanyakannya pada ibunya, untuk kemudian dijelaskan secara sederhana. Sebuah pola pendidikan yang cukup layak ditiru, menurut saya. Setidaknya, anak akan belajar memahami hal-hal yang lebih besar di luar dirinya, dan memperbanyak perbendaharaan kata di ‘kamus otak’nya.

Menurut Dr. Howard Gardner mengenai teori Kecerdasan Majemuk atau Multiple Intelligences, terdapat 8 jenis kecerdasan pada diri anak, yang salah satunya disebut sebagai ‘Cerdas Bahasa’. Penjelasan singkat mengenai jenis kecerdasan tersebut adalah: kecerdasan anak dalam mengolah kata. Contohnya adalah keterampilan yang dimiliki anak dalam menceritakan atau menggambarkan sesuatu dengan kata-kata.

Kecerdasan yang dimiliki seorang anak pada masa-masa awal pertumbuhannya sampai usia sekolah, memang tidak bisa dibiarkan sendiri untuk berkembang. Kadang, potensi yang sudah ada dalam diri anak masih harus dibantu oleh orang-orang terdekatnya dan juga perangkat sekolah supaya dapat lebih berkembang dan muncul ke permukaan. Sebab seorang anak di bawah umur belumlah mengerti apa yang harus ia lakukan untuk memunculkan potensi yang ada pada dirinya. Rangsangan yang ia terima dari luar, akan sangat membantu untuk dapat mengembangkan bahkan menemukan potensi kecerdasan pada diri anak. Sebuah kecerdasan yang tadinya tidak terlihat, dengan rangsangan yang tepat, bisa jadi akan muncul menjadi sebuah prestasi pada anak. Dengan demikian, peran orang tua sebagai lingkungan terdekat anak sangat menentukan.

Dari kejadian yang saya alami di atas, saya banyak sekali mendapatkan pelajaran. Bahwa kondisi orang tua bekerja untuk masa sekarang ini memang sudah tak terhindarkan. Padahal keberadaan ibu dan ayah di rumah sangat berperan untuk mendampingi anak melewati masa-masa pertumbuhannya. Namun, kecerdikan orang tua untuk mensiasati waktu memang sangat diuji, dan salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh tante saya tersebut. Memanfaatkan waktu pertemuan dengan anak untuk menjalin komunikasi dan memberikan pelajaran sekaligus membangkitkan kecerdasan anak melalui mendongeng atau membacakan cerita.

Variasi bacaan pun harus diperhatikan, agar anak tidak merasa bosan dan pengetahuannya berkembang luas. Menyuguhkan bacaan yang merangsang minat baca anak memang tak melulu harus melalui komik atau buku cerita bergambar yang jumlah kata-katanya sedikit. Tetapi, tentu harus diperhatikan kesesuaian usia anak dan kemampuannya mencerna kata-kata dalam jumlah banyak.

Berbagai tayangan yang disuguhkan televisi hingga bacaan yang tak lagi sempat tersensor oleh orang tua yang cukup sibuk, tentunya akan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi perkembangan anak. Bagaimanapun, upaya untuk mendampingi anak dalam belajar sangat penting untuk dilakukan. Dengan menemani anak membaca atau membacakan cerita atau dongeng bersama, tentu akan menjadi sarana yang baik sekali untuk meraih kedekatan pada anak sekaligus menjadi ‘alat sensor’ bagi bacaan anak. Selain itu, kebiasaan baik ini akan menjadi momen berharga bagi anak untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya dan merasakan perhatian yang tak kurang dari kedua orang tuanya. Bukankah kecerdasan awal pada anak ditentukan dari rumah? Oleh karena itu, meluangkan waktu setidaknya setengah jam sehari bersama anak untuk awal dari sebuah kecerdasan yang akan terbentuk tidaklah berat, bukan?

DH Devita
dh_devita at yahoo dot com