Gaji Papa Berapa?

20 05 2009

Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Sarah, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.
Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur ?” sapa Andrew sambil mencium anaknya.

Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab, “Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?”
“Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja” ucap Sarah singkat.
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10jam dan dibayar Rp. 400.000,-.Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja”
Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?”
Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah
berlari mengikutinya. “Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,-untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40..000,- dong” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur” perintah Andrew.

Tetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya, “Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?”
“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek.
Dan mau mandi dulu. Tidurlah”.
“Tapi Papa…”
Kesabaran Andrew pun habis. “Papa bilang tidur !” hardiknya mengejutkan Sarah.
Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya.
Ia pun menengok Sarah di kamar tidurnya.

Anak kesayangannya itu belum tidur. Sarah didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Andrew berkata, “Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah.
Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa.”
Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih” jawab Andrew
“Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini”.
“lya, iya, tapi buat apa ?” tanya Andrew lembut.
“Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja.
Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa.
Aku buka tabunganku, hanya ada Rp.15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-.
Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa” kata Sarah polos.
Andrew pun terdiam. ia kehilangan kata-kata.
Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru.
Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk “membeli” kebahagiaan anaknya.

“Bagi dunia kau hanya seseorang, tapi bagi seseorang kau adalah dunianya”





Perhatikan Aku!

5 05 2009

eramuslim – Pernahkah mendapati tiba-tiba saja anak anda menjadi begitu rewel? Ia menangis, merengek, merajuk tak bisa dihentikan sampai membuat anda begitu lelah menghadapinya. Di tengah kesibukan si ibu yang tak kalah repotnya mengurusi pekerjaan rumah, tangisan serta tingkah anak yang demikian tentunya akan menambah berat tugasnya. Kadang di tengah kelelahan itu, kita tak lagi sempat mengontrol emosi dan meningkatkan volume kesabaran untuk menghadapi si buah hati. Belum lagi pikiran yang suntuk harus menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi; masalah uang belanja, tagihan listrik, tagihan telepon, iuran bulanan lingkungan rumah, dan sebagainya, tentunya akan menambah penat yang teramat sangat. Apakah yang akan dilakukan ibu bila berada dalam kondisi demikian? Tak mengacuhkan si anak, tentunya tak juga akan menghentikan rengekannya. Menghardik serta memarahinya, akan membuat tangisannya bertambah keras. Membungkam mulutnya dengan cubitan dan pukulan? Na’udzubillahi min dzaalik, semoga itu tidak termasuk ke dalam ‘pilihan tindakan’ yang akan kita lakukan.

Kenyataannya, tak sedikit anak-anak harus menjadi ‘korban’ dari kekerasan yang dilakukan oleh orang tua, baik disengaja maupun tidak. Awalnya memang hanya cubitan kecil dan pukulan ringan, gemas karena si kecil tak mau menurut. Namun ketika emosi sedang tak terkendali, dan tindakan tersebut telah menjadi kebiasaan, bisa-bisa tak sekadar cubitan dan pukulan ringan yang dilakukan. Entah apapun alasannya, melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap anak bukanlah pola mendidik yang patut dilakukan.

Seorang anak akan mempelajari dan merekam dengan cepat apapun peristiwa yang ia alami. Bila kekerasan yang selalu ditampilkan oleh orang tua di rumah, maka itu pula yang akan paling diingat olehnya, dan bisa jadi itu pula yang akan ia lakukan terhadap orang lain kelak. Masa kecil adalah masa emas yang akan menjadi memori sepanjang masa bagi seorang anak. Tak jarang tingkah polah seseorang ketika dewasa adalah akibat apa yang ia alami sepanjang masa kecilnya.

Seringkali kita tak menyadari, bahwa ‘tingkah’ yang anak perbuat di depan orang tua maupun di depan orang banyak, biasanya adalah usahanya untuk menarik perhatian si ibu atau ayah. Mungkin saja ia merasa bahwa kedua orang tuanya begitu sibuk seharian, sehingga perhatian dan belai sayang yang ia butuhkan tak terpenuhi. Bagi anak, belaian sayang, waktu untuk bercakap-cakap, bercanda dan bermain, adalah jauh lebih berharga dibandingkan dengan berapapun uang yang disisihkan untuknya.

Menyalurkan emosi dan cinta pada anak, tak akan pernah bisa dibandingkan dengan berapapun jumlah materi yang dilimpahkan untuknya. Disamping memanjakan anak dengan materi tak selalu baik dan bukanlah pola pendidikan yang tepat baginya. Sebagai contoh, saya memiliki seorang sepupu yang masih berumur empat tahun. Belakangan ini, ia menjadi begitu ‘nakal’ dan bertingkah yang merepotkan ibunya, terutama ketika ada orang yang berkunjung ke rumahnya. Padahal, ketika ia menginap atau bermain siang sampai sore hari di rumah saya, ia tak pernah sekalipun merepotkan kami. Malah ia menjadi sangat penurut dan tak pernah bertingkah macam-macam. Namun ketika ibu atau ayahnya datang menjemput, atau kami sedang bersama-sama orang tuanya di suatu tempat, perilakunya berubah. Hal ini terus terjadi berulang-ulang. Suatu ketika, si kecil ini mendatangi ibunya yang sedang asyik mengobrol dengan ibu saya di meja makan. Ia menarik-narik tangan ibunya untuk ikut dengannya melihat sebuah tayangan yang sedang ia saksikan di televisi. Ibunya tak mau beranjak dan terus asyik mengobrol. Tak berapa lama, ia pun berteriak-teriak, melempar barang yang sedang ia genggam, dan memukuli ibunya. Bisa ditebak, si ibu pun menjadi marah dan menghardiknya. Hal ini sudah sangat biasa saya saksikan. Kejadian yang berulang, dan selalu bisa ditebak akhirnya. Padahal permintaan si anak begitu sederhana, ia hanya ingin ibunya ikut menyaksikan apa yang sedang ia tonton dan sedikit mengomentari. Hal kecil, namun ternyata begitu sulit dilakukan.

Kadang kita tak menyadari, bahwa ketika kita tidak menaruh perhatian pada apa yang dilakukan anak, ia mungkin akan menganggapnya sebagai hal yang besar. Walaupun bentuk perhatian itu sepele dan sangat mudah dilakukan, ternyata cukup banyak yang merasa kesulitan menjalankannya. Berbagai alasan mendasari perilaku orang tua yang ‘tidak memedulikan’ anak, di antaranya adalah kesibukan. Orang tua yang bijak tentu dapat memberikan pengertian pada anak, bahwa saat itu ayah atau ibu sedang mengerjakan sesuatu, sehingga anak pun akan belajar ‘berempati’ pada orang tua. Ini adalah salah satu strategi untuk mendidik anak agar tidak manja dan dapat belajar memahami kondisi orang lain.

Seperti halnya menghadapi anak yang gemar meminta dibelikan mainan. Mungkin bila tak mau repot, kita bisa saja mengeluarkan uang dan langsung membelikannya. Namun hal tersebut tentu tak baik bagi perkembangan anak. Dalam psikologi perkembangan anak, dikenal sebuah kondisi yang dinamakan Temper Tantrum atau luapan emosi yang meledak-ledak atau tidak terkontrol. Berbagai macam faktor yang menyebabkannya, di antaranya adalah karena tidak terpenuhinya kebutuhan anak, terhalangnya keinginan anak dalam mendapatkan sesuatu, pola asuh orang tua, ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan sesuatu, dan sebagainya. Orang tua seringkali ‘terjebak’ dalam beberapa kondisi, dan kemudian mengikuti dan ‘memenangkan’ tantrum anak. Sehingga kemudian anak bisa tumbuh menjadi anak yang manja dan selalu menuntut agar semua keinginannya dipenuhi. Atau orang tua menyikapi perilaku tantrum tersebut dengan ‘berlebihan’ hingga berakibat tindakan kekerasan yang dilakukan demi menenangkan atau membungkam rengekan anak. Padahal, tantrum itu sendiri adalah kondisi yang normal terjadi, dan bisa dicegah atau diatasi.

Masalahnya sekarang adalah minimnya pengetahuan dan kepedulian dari orang tua dalam hal pola asuh dan pendidikan bagi perkembangan anak. Bisa jadi, perilaku tantrum tersebut pun tercipta oleh sebab kebiasaan orang tua yang sering tak mengacuhkan si anak, sehingga ia menjadi rewel sebab kebutuhannya tak dipenuhi. Bukan hanya si anak yang kemudian menjadi rewel, orang tua pun akan ikut ‘stres’ bila tantrum sedang terjadi. Hal ini akan menjadi kebiasaan yang akan terjadi berulang kali, sebab ‘lalainya’ kita dalam memperhatikan perkembangan anak, serta tak jeli memilah penyikapan yang tepat atas segala tingkah polahnya. Maka, sediakanlah waktu kapan saja bila anak membutuhkan. Hingga tak lagi ia capai merengek hingga menangis meraung-raung demi meminta perhatian dari kedua orang tuanya.

DH Devita dh_devita at yahoo dot com